27 04 2010

Marquee Tag - http://www.marqueetextlive.com

patient reviews milwaukee


Aksi

Information

2 responses

15 05 2010
Imas Masruroh

PERBUATAN TUHAN DAN MANUSIA
SERTA KEHENDAK MUTLAK DAN KEADILAN TUHAN

I. PENDAHULUAN
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam Al-qur’an akidah disebut dengan al-iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah dijelaskan nabi Muhammad Saw. melalui pewahyuan Al-qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw. telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam tuhan (Al-qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar argumen-argumen. Baik secara rasional (aqliyah) maupun Wahyu Ilahiyah (naqliyah). Argumentasi rasional yang dimaksud adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya berfendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Quran dan Hadits.
Dampak dari ilmu kalam ini juga melahirkan banyak aliran banyak perbedaan pemikiran tentang ”Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia serta Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan”. Oleh karena itu mengenai permasalahan ini untuk lebih jelasnya akan di bahas dalam makalah ini.

II. PEMBAHASAN
A. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
1. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
Berikut ini beberapa pemikiran aliran ilmu kalam tentang perbuatan Tuhan, yaitu:
a. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam Al-qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat Al-anbiyaa (21):23 dan surat Ar-rum (30) : 8.
Qadi Abd Al-jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu di tanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik ., tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut Al-jabar mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
1) Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertetangan dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
2) Kewajiban mengirimkan rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengtahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
3) Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
b. Aliran Asy’ariah
Menurut aliran asy’ariyah, faham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa , aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
c. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.

2. Perbuatan Manusia

Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
Berikut ini beberapa pemikiran aliran ilmu kalam tentang perbuatan manusia, yaitu:
a. Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
b. Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.
c. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
d. Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”
(Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
e. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.

B. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
1. Pengertian Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Menurut kamus bahasa Indonesia karangan Desy Anwar kehendak adalah kemauan, keinginan. Sedangkan Mutlak adalah umum mengenai segenapnya, tidak terkecuali, tiada bersyarat lagi tiada terbatas. Jadi pengertian dari kejendak mutlak Tuhan adalah kemauan atau keinginan Tuhan mengenai semuanya (alam semesta) tidak terkecuali.
Sedangkan keadilan adalah awalan ke ditambah adil yang berarti sifat yag tidak memihak sifat berpihak pada yang benar. Jadi keadilan Tuhan adalah sifat tidak memihak Tuhan pada suatu apapun.
2. Sebab Munculnya Perdebatan Tentang Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal fungsi Wahyu dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.
Pangkat persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai pencipta alam Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan haus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena itu tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Ia dipahami sebagai eksistensi yang esa dan unik. Inilah makna umum yang dianut aliran-aliran kalam dalam memahami tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Paham keadilan Tuhan, dalam pemikiran kalam bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ? Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan penerapan makna keadilan yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.
Di samping faktor-faktor di atas, perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak dari keadilan Tuhan ini didasari pula oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal dan fungsi Wahyu. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar kekuasaan Tuhan pada hahikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berpendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan bersifat mutlak.
3. Perbandingan Antar Aliran Tentang Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
a. Aliran Mu`tazilah
Aliran ini berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zhalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya menanggung akibat perbuatannya karena manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu.
Jadi aliran Mu`tazilah mengatakan bahwa sebenarnya kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi. Ketidak mutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebeasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu, pandangan Mu`tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta.
Aliran Mu`tazilah mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar, bahwa keadilan Tuan mengandung Arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk tidak melainkan kewajiban-kewajibannya kepada manusia dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Jalan pikiran ini tidak menghendaki sifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang tidak patuh bagi Allah. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu`tazilah mempunyai kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.
b. Aliran Asy`ariyah
Aliran ini berbeda dengan Mu`tazilah yang berpendapat manusia diberi kebebasan untuk berbuat dan berkehendak kaum Asy`anah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu, semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, dan bukan karena kepentingan manusia untuk tujuan yang lain, pengertian keadilan menurut Asy`ariyah adalah dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terdapat harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Tuhan dapat memberi pahala kepada hamba-Nya atau sebaliknya memberi siksa dengan sekehendak hati-Nya dan itu semua adil bagi Tuhan karena Dia penguasa Mutlak.
Aliran Asy`ariyah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy`ari juga menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain di atas Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh di buat dan apa yang tidak boleh di buat Tuhan malah lebih jauh dikatakan oleh Asy1ari kalau memang Tuhan menginginkan ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.
c. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan Aliran ini terpisah menjadi dua yaitu Maturidiyah sebarkan dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terdapat kekuasaan mutlak Tuhan.
Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarqand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada larangan bagi Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya tidak ada suatu dzat pun yang lebih berkuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya tampaknya aliran Maturidiyah Samarqand lebih dekat dengan Asy`ariyah Al-Bazdaqi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan cosmos. Tuhan berbuat sekedendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain. Konsep lain keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

III. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah yang termaktub di dalam al-qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.
Kehendak mutlak Tuhan adalah kemauan atau keinginan Tuhan mengenai semuanya yang ada di alam semesta ini. Sedangkan keadilan Tuhan adalah sifat tidak memihak Tuhan pada suatu apapun atau tindakan Tuhan pada makhluk di setiap perbuatannya. Seperti memberi pahala atau dosa.
Berikut ini kesimpulan pandangan dari beberapa aliran ilmu kalam Kehendak mutlak dan keadilan Tuhan
1. Aliran Mu`tazilah
Mu`tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksa kehendak kepada hamba-Nya. Kemudian mengharuskan hamba-Nya untuk menanggung akibat perbuatannya. Secara lebih jelas aliran Mu`tazilah mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak lagi.
2. Aliran Asy`ariyah
Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan dan berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain.
3. Aliran Maturidiyah
Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarqand dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terdapat manusia. Pendapat ini lebih dekat dengan Mu`tazilah.
Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya tidak ada yang Menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Pandangan Maturidiyah Bukhara ini lebih dekat dengan Asy`ariyah.
=================================================

Disusun Oleh:

IMAS MASRUROH : 08.011.06
PIPIH : 08.011.12
AI HARYANI : 08.010.91
SITI AMINAH : 08.012.19

Kelas Konversi
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) TASIKMALAYA
TASIKMALAYA
2010

25 05 2010
hani salis

ILMU KALAM MASA KINI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen: MUSTHOFA, M.Si.

Disusun oleh:
• APIP MULYANA
• ELIS NURHASANAH
• HANI SALIS
• OMON

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
TASIKMALAYA
2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang bejudul “PEMIKIRAN KALAM MASA KINI”.
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahcurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan kepada kita sebagai umatnya yang selalu taat pada ajarannya.
Penyusun menyadari sepenuh hati bahwa penyusun tidak mungkin dapat menyelesaikan makalah ini tanpa adanya dorongan dari semua pihak, baik itu berupa materi ataupun non materi. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini penyusun ingin mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dari itu demi kesempurnaan makalah ini, kritik yang sifatnya membangun untuk dapat penyusun perbaiki di masa yang akan datang.
Akhirnya besar harapan penyusun semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan semua kalangan pembaca pada umumnya.

Tasikmalaya, Mei 2010
Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Ismail Al Furqi 2
B. Hasan Hanafi 8
BAB III KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16

BAB I
PENDAHULUAN

Persoalan kalam Allah merupakan salah satu persoalan dari tema pembicaraan Ilmu Kalam klasik. Persoalan ini berpijak kepada dua aksioma yaitu bahwa Allah sebagai Dzat Maha Awal (Qodim) dan Maha Ahir (Abadi). Kedua keadaan (Asy’ariyah: sifat) tersebut telah melahirkan polemik berkepanjangan dalam sejarah pemikiran kalam di dunia Islam.
Secara sintetik, kedua sifat Allah tentunya bersifat Qodim, abadi. Namun demikian dari sini muncul persoalan apakah dalam berkalam bisa mengalami suatu proses yang sistematik dan terstruktur dalam konteks ruang waktu. Cara berpikir demikian mendapat validasi dari metode dan tradisi berpikir rasional yang sistematik dan empirik. Suatu cara berpikir yang menarik dan mengidentifikasi wujud dan keadaan serta keberadaan Tuhan dalam konteks sifat-sifat alamiah dan dalam konteks manusia.
Maka sejak itulah ilmu kalam menjadi pengetahuan teoritis, dedukatif. Namun demikian bukan berarti cara berpikir idukatif hilang sama sekali. Sejak saat itulah muncul dua kecenderungan pemikiran kalam Islam klasik “Tajsim atau mujasimah” merupakan kelompok yang mempertahankan secara radikal (eksim) adanya sifat-sifat bagi Tuhan, sedangkan kelompok “tasbih atau mu’atilah” adalah kelompok yang menolak sifat-sifat bagi Tuhan. Dalam konteks ini terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam mengertikan dan mendefinisikan tentang sifat.

BAB II
PEMBAHASAN

Ilmu Kalam Masa Kini
Ajaran Islam yang kristalnya berupa Alquran dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh kurun zaman.
Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis. Apa dan siapakah tokoh yang dikatakan dalam buku Rosihan Anwar dan Abdul Rozak mengenai perkembangan pemikiran ilmu kalam masa kini?
A. Ismail Al Faruqi
1. Riwayat singkat Ismail Raji Al Faruqi
Ismail Raji Al Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres di Libanon, lalu tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Lalu dia bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945 dipilih sebagai Gubernur Galilea, tapi setelah Israel mencaplok Palestina ia pindah ke AS. Di AS ia melanjutkan pendidikan master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan Al-Azhar University tahun 1952.
Sebagai anak Palestina, ia mengecam keras apa yang telah dilakukan zionis Israel yang menjadi dalam pencaplokan di Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya di duga karena kritiknya yang keras terhadap kaum zionis Yahudi.
Ismail Raji Al Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
2. Pemikiran Kalam Ismail Al Faruqi
Pemikiran Al Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul, Tahwid: Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid). Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Al Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut.
a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam Islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.
b. Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir.
c. Tauhid sebagai intisari Islam
Dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.
d. Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al-Quran, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.
e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda dengan “imam” Kristen, imam Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.
f. Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalahmemungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g. Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari dengan penuh ketakutan. Amanat atau kepercayaan Illahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Illah, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya mahkluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
h. Tauhid sebagai prinsip tata sosial
Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus berusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akah kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai suatu komunitas Islam yang lain, atau oleh komunitas non-Islam.
i. Tauhid sebagai prinsip ummah
Al Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas: Pertama, menentang etnosentrisme, maksudnya tata sosial Islam adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua, universalisme, maksudnya Islam bersifat universal dalam artimeliputi seluruh manusia. Cita-cita komunitas universal adalah cita-cita Islam yang diungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga, totalisme, maksudnya Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme tata sosial Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi mencakup seluruh aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan, maksudnya tata sosial Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, Islam akan kehilangan sifatnya yang khas.
j. Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan komunisme dan ideologi-ideologi Barat, umat Islam akan menjadimasyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminasi oleh hubungan erat dengan tauhid.
k. Tuhid sebagai prinsip tata politik
Al Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan. Kekhalifahan didefinisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (jma ar-ru’yah), kehendak (jma al-iradah), dan tindakan (ijma al-amal). Wawasan yang dimaksud Al Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Illahi. Kehendak yang dimaksud Al Faruqi juga apa yang disebutnya dengan ashabiyyah, yakni kepedulian kaum muslimin menanggapi peristiwa-peristiwa dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Islam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama: Pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompok pun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada dirimereka sendiri.

m. Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang kreativitas seni; juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya, Islam memberkati keindahan Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

B. Hasan Hanafi
1. Riwayat singkat Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan tanggal 13 Februari 1953 dimasa Inggris menjajah negara Mesir, hal ini membentuk semangat nasionalismenya ketika masih kecil. Tahun 1948 dimana Israel telah berdiri serta pecahnya perang Palestina, Hasan Hanafi ikut serta melawan zionisme dan menemukan arti penting dalam persatuan bangsa arab dan muslim. Hasan Hanafi adalah pengikut ikhwanul muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo.
Dalam ikhwanul muslimin dia aktif dalam mengikuti demonstrasi hingga adanya revolusi pada tahun 1952. dia menentang persetujuan dengan Inggris Raya yang mengatur tentang evakuasi tentara Inggris. Di Perancis Hanapi menemukan permulaan kesadaran filosofis di tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an Perancis menjadi pusat ilmu filsafat kontemporer di dunia. Di Perancis, Hasan Hanafi meraih gelar doktornya.

2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankandoktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata theos dan logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm-al-kalam).
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdaNya yang berupa wahyu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutik yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis.
Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional gagal menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktinya di kalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun sosial, umat ini dilanda keterceraiberaian dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq; hipocrisy) atau sinkretisme kepribadian (muzawij; assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam kehidupan umat Islam saat ini: sinkretisme antar kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan moderen (peradaban), antara Timur dan Barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik sosial politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat teoretis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.
b. Rekonstruksi teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan sarana rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epistemologi baru yang sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga sistem kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
Langakah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal berikut.
1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.
2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.
3) Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi duni’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi, menawarkan dua hal yang memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu:
1) Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan nenek moyang yang dibidangi teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menuikapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
2) Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-historis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pemikiran dua tokoh diatas setidaknya dapat kita pahami bahwa masing-masing tokoh memang tidak terlepas dari pemikiran kalam masa lalu. Misalnya Hasan Hanafi yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran muktazilah dan qodariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita taqdir atau nasib dalam kehidupan dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag. Ilmu Kalam. Bandung, Pustaka Setia. 2003.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail-Raji-AlFaruqi#masa-muda

Tinggalkan komentar